I.
PENDAHULUAN
Dalam perjalanan sejarah Islam, para ulama mengembangkan
berbagai teori, metode, pendekatan dan prinsip hukum yang sebelumnya tidak dirumuskan secara
sistematis, baik dalam Alquran maupun as-Sunnah. Upaya para ulama tersebut
berkaitan erat dengan tuntutan realita sosial yang semakin hari semakin
kompleks. Berbagai persoalan baru bermunculan yang sebelumnya tidak dibahas
secara spesifik dalam Alquran dan Hadits Nabi.
Di antara metode penetapan hukum yang dikembangkan para ulama adalah Istihsan
dan Istishlah (mashlahah). Metode Istihsan dan Istishlah dalam term ilmu ushul fiqh disebut bagian dari istidlal yaitu
sesuatu yang dijadikan dalil hukum yang sesuatu itu bukan qur’an, hadits, Ijma
dan bukan Qiyas. Oleh karena itu Metode istihsan dan mashlahah diperselisihkan
oleh para ulama mujtahid, ada yang menggunakan dan ada yang menolak
digunakan sebagai istidlal (dalil Ijtihadi)
Berangkat
dari permasalahan diatas , kami akan mencoba membahas lebih jauh diskursus
metodologi hukum Islam Istihsan dan Mashlahah .
II.
ISTIHSAN
A.
Pengertian Istihsan
Istihsan, (Arab) dapat disebut juga preference
(pilihan), berikut beberapa
pengertisn Istihsan : [1]
1.
Berarti menganggap
baik atau mencari yang baik.
2.
Menetapkan suatu
hukum terhadap sesuatu persoalah ijtihadiyah atas dasar prinsip-prinsip umum
ajaran Islam (keadilan, kasih sayang).
3.
Fatwa yang
dikeluarkan oleh seorang faqih (ahli
fiqih), hanya karena dia merasa hal itu adalah benar.
4.
Argumentasi dalam
pikiran seorang faqih tanpa bias
diekpresikan secara lisan olehnya.
5.
Mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima, untuk
maslahatorang banyak.
6.
Tindakan
memutuskan suatu perkara untuk mencegah kemudharatan.
7.
Tindakan
menganalogikan suatu perkara di masyarakat terhadap perkara yang ada
sebelumnya.
Menurut ulama
ushul fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa
atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara’, menuju (menetapkan) hukum
lain dari peristiwa atau kejadian itu juga, karena ada suatu dalil syara’ yang
mengharuskan untuk meninggalkannya. Dalil yang terakhir disebut sandaran
istihsan [2].
Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa istihsan
disebut sebagai Qiyas Khofi ( analogi samar-samar ) atau disebut sebagai
pengalihan hukum yang diperoleh dengan Qiyas kepada hukum lain atas
pertimbangan kemaslahatan umum. Apabila kita dihadapkan dengan keharusan
memilih salah satu diantara dua persoalan yang sama-sama jelek maka kita harus
mengambil yang lebih ringan kejelekannya.
Penjelasan lebih
lanjut mengenai istihsan tentu akan
terdapat perbedaan dengan qiyas. Pada
qiyas terdapat dua peristiwa atau
kejadian. Peristiwa atau kejadian pertama belum ditetapkan hukumnya karena
tidak ada nash yang dapat dijadikan dasarnya. Untuk menetapkan hukumnya dicari
peristiwa atau kejadian yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan
nash dan mempunyai persamaan ‘illat dengan peristiwa pertama.berdasarkan
persamaan ‘illat itu ditetapkanlah hukum peristiwa pertama sama dengan hukum
peristiwa kedua. Sedang pada istihsan hanya ada satu peristiwa atau kejadian.
Mula-mula peristiwa atau kejadian itu telah ditetapkan hukumnya berdasar nash.
Kemudian ditemukan nash yang lain yang mengharuskan untuk meninggalkan hukum
dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan itu, pindah kepada hukum
lain, sekalipun dalil pertama dianggap kuat, tetapi kepentingan menghendaki
perpindahan hukum itu.
Dengan perkataan lain bahwa pada qiyas
yang dicari bagi seorang mujtahid ialah persamaan ‘illat dari dua peristiwa
atau kejadian, sedang pada istihsan yang dicari ialah dalil mana yang paling
dapat digunakan untuk menetapkan hukum dari satu peristiwa
.
B.
Dasar Hukum Istihsan.
Ulama terdahulu
yang berpegang pada dalil istihsan
ialah madzhab Hanafi, mennurutnya istihsan
sebenarnya macam qiyas, yaitu
memenangkan qiyas khafi atas qiyas jali atau mengubah hukum yang
telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau suatu kejadian yang ditetapkan
berdasar ketentuan umum kepada ketentuan khusus karena ada satu kepentingan
yang memperbolehkannya. Menurut mereka jika dibolehkan menetapkan hukum berdasarkan
qiyas jali atau maslahat mursalah, tentulah melakukan istihsan karena kedua hal itu pada hakekatnya adalah sama, hanya
namanya saja yang berbeda. Disamping Madzhab Hanafi, golongan lain yang
menggunakan istihsan ialah sebagian Madzhab Maliki dan sebagian Madzhab Hambali.
Yang menentang istihsan dan tidak menjadikannya sebagai
dasar hujjah ialah Madzhab Syafi’i. Istihsan menurut mereka adalah
menetapkan hukum syara’ berdasarkan keinginan hawa nafsu. Imam Syafi’i berkata
: “Siapa yang berhujjah dengan istihsan berarti ia telah menetapkan sendiri hukum
syara’ berdasarkan keinginan hawa nafsunya, sedang yang berhak menetapkan hukum
syara’ hanyalah Allah SWT.” Dalam buku Risalah
Ushuliyah karena beliau, dinyatakan: “Perumpamaan orang yanhg melakukan
istihsan adalah seperti orang yang melakukan shalat yang menghadap ke suatu
arah yang menurut istihsan bahwa arah itu adalah arah Ka’bah, tanpa ada
dalil yang diciptakan pembuat syara’ untuk menentukan arah Ka’bah itu.”[3]
Ada hal-hal yang
perlu diperhatikan bahwa alasan-alasan yang dikemukakan oleh kedua pendapat itu
serta pengertian istihsan menurut mereka masing-masing, akan jelas bahwa
istihsan menurut pendapat Madzhab Hanafi berbeda dari istihsan menurut
pendapat Madzhab Syafi’i. menurut pendapat Hanafi istihsan itu semacam qiyas
dilakukan karena ada satu kepentingan, bukan berdasarkan hawa nafsu, sedangka
menurut Madzhab Syafi’i, istihsan itu timbul karena rasa kurang enak,
kemudian pindah kepada rasa yang lebih enak. Seandainya istihsan itu
diperbincangkan dengan baik, kemudian ditetapkan pengertian yang disepakati,
tentulah perbedaan pendapat itu dapat dikurangi. Karena itu asy-Syathibi dalam
kitabnya Al-Muwafaqat menyatakan :
“orang yang menetapkan hukum berdasarkan istihsan tidak boleh
berdasarkan rasa dan keinginannya semata, akan tetapi haruslah berdasarkan
hal-hal yang diketahui bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah SWT
menciptakan syara’ dan sesuai pula dengan kaidah-kaidah syara’ yang umum”.
C.
Macam-macam Istihsan
Dari uraian pengertian tersebut, istihsan menurut ulama
ushul fiqh, terbagi atas dua macam, yaitu :[4]
1. Pindah dari qiyas jali kepada qiyas
khafi, karena ada dalil yang mengharuskan pemindahan itu.
2. Pindah dari hukum kulli kepada hukum
juz-i, karena ada dalil yang mengharuskannya. Istihsan macam ini oleh Madzhab
Hanafi disebut istihsan darurat, karena penyimpangan itu dilakukan karena suatu
kepentinagan atau karena darurat.
D. Pandangan
Ulama Terhadap Istihsan
Contoh Istihsan macam pertama :
1.
Menurut Madzhab Hanafi: bila seorang mewaqafkan sebidang
tanah pertanian, maka termasuk yang diwaqafkannya itu hak pengairan, hak
membuat saluran air di atas tanah itu dan sebagainya. Hal ini ditetapkan
berdasar istihsan. Menurut qiyas jali hak-hak tersebut tidak mungkin diperoleh,
karena mengqiyaskan waqaf itu dengan jual beli. Pada jual beli yang penting
ialah pemindahan hak milik dari penjual kepada pembeli. Bila waqaf diqiyaskan
kepada jual beli, berarti yang jual beli, berarti yang penting ialah hak milik
itu. Sedang menurut istihsan hak tersebut diperoleh dengan mengqiyaskan waqaf
itu kepada sewa-menyewa. Pada sewa-menyewa yang penting ialah pemindahan hak
memperoleh manfaat dari dari pemilik barang kepada penyewa barang. Demikian
pula halnya dengan waqaf. Yang penting pada waqaf ialah agar barang yang
diwaqfkan itu dapat di manfaatkan. Sebidang sawah hanya dapat dimanfaatkan jika
memperoleh pengairan yang baik. Jika waqaf itu diqiyaskan kepada jual beli (qiyas
jali), maka tujuan waqaf tidak akan tercapai, karena pada jual beli yang
diutamakan pemindahan hak milik. Karena itu perlu dicari asalnya yang
lain, yaitu sewa-menyewa. Kedua peristiwa ini ada persamaan ‘illatnya yaitu
mengutamakan manfaat barang atau harta, tetapi qiyasnya adalah qiyas khafi.
Karena ada suatu kepentingan, yaitu tercapainya tujuan waqaf, maka dilakukanlah
perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi, yang disebut istihsan.
2.
Menurut Madzhab
Hanafi: sisa minuman burung buas, seperti sisa burung elang, burung gagak dan
sebagainya adalah suci dan halal diminum. Hal ini ditetapkan dengan istihsan.
Menurut qiyas jali sisa minuman binatang buas, seperti anjing dan burung-burung
buas adalah haram diminum karena sisa minuman yang telah tercampur dengan air
liur binatang itu diqiyaskan kepada dagingnya. Binatang buas itu langsung minum dengan mulutnya, sehingga
air liurnya masuk ketempat minumnya. Menurut qiyas khafi bahwa burung buas itu
berbeda mulutnya dengan mulut binatang buas. Mulut biatang buas terdiri daging
yang haram dimakan, sedang mulut burung buas merupakan paruh yang terdiri atas
tulang tulang dan zat tandukdan tulang atau zat tanduk bukan merupakan najis.
Karena itu sisa minum burung buas itu tidak bertemu dengan dagingnya yang haram
dimakan, sebab diantara oleh paruhnya, demikianlah pula air liurnya. Dalam hal
ini keadaan yang tertentu yang ada pada burung buas yang membedakannya dengan
binatang buas. Berdasar keadaan inilah ditetapkan perpindahan dari qiyas
jali kepada qiyas khafi, yang disebut istihsan.
Contoh istihsan macam kedua :
1.
Syara’ melarang seseorang (aqad) memperjualbelikan atau
mengadakan perjanjian tentang sesuatu barang yang belum ada wujudnya, pada saat
jual beli dilakukan. Hal ini berlaku untuk seluruh macam jual beli dan
perjanjian yang disebut hukum kulli. Tetapi
syara’ memberikan rukhsah (keringanan)
kepada pembelian barang dengan kontan tetapi barangnya itu akan dikirim
kemudian, sesuai dengan waktu yang telah dijanjikan, atau dengan pembelian
secara pesanan (salam). Keringanan yang
demikian diperlikan untuk memudahkan dalam lalu-lintas perdagangan dan
perjanjian. Pemberian rukhsah kepada salam itu merupakan pengecualian (istisna) dari hukum kulli dengan
menggunakan hu hukum juz-i, karena keadaan memerlukan dan telah
merupakan adat kebiasaan dalam masyarakat.
2.
Menurut hukum
kulli, seseorang pemboros yang memiliki harta berada di bawah perwalian
seseorang, karena itu ia tidak dapat melakukan transaksi hartanya tanpa izin
walinya. Dalam hal ini dikecualikan kalau transaksi tersebut berupa waqaf.
Orang pemboros itu dapat melakukan atas namanya sendiri, karena melalui ikrar
waqaf hartanya terpelihara dari kehancuran dan sesuai dengan tujuan diadaknnya
perwalian, yaitu untuk memelihara hartanya (hukum
juz-i)
Dari contoh di
atas nampak bahwa karena adanya suatu kepentingan atau keadaan maka
dilaksanakan hukum juz-i dan meninggalkan hukum kulli. Ditinjau
dari segi sandaranya, maka istihsan terbagi kepada:
1.
Istihsan dengan sandaran qiyas
khafi;
2. Istihsan dengan sandaran nash;
3. Istihsan dengan sandaran ‘urf; dan
4. Istihsan dengan sandaran keadaan darurat.
E.
Tujuan
Istihsan (dalamMetodologi Hukum Islam)
Bermacam pada contoh
pendapat ulama di atas, maka istihsan sebagai
salah satu metodologi ijtihad mempunyai
tujuan dalam rangka utnuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup
dalam beribadah kepada Allah Swt. Selalu berhati-hati untuk memutuskan suatu
perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan tidak
meninggalkan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang.
F.
Fungsi
Istihsan (dalamMetodologi Hukum Islam).
Meski Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti
semua permasalahan dalam kehidupan manusia diatur secara detail oleh Al Quran
maupun Al Hadist. Selain itu ada perbedaan yang mencolok dengan keadaan pada
saat turunya Al Quran dengan kehidupan modern. Sehingga setiap saat masalah
baru akan muncul terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan baru dalam
melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan beragama sehari-hari. Jika terjadi
persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau di suatu
masa waktu tertentu maka permasalahan tersebut dikaji apakah perkara yang
dipermasalahka itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al
Hadist. Sekiranya sudah ada maka persialan tersebut harus mengikuti ketentuan
yang ada sebagaiman disebutkan dalam Al Quran atau Al Hadist tersebut. Namun
jika persoalan tersebut merupakan perkara yang jelas atau tidak ada
ketentutanya dalam Al Quran dan Al Hadist, pada saat itulah maka umat Islam
memerlukan istihsan demi kepentingan pilihan suatu pernasalahan tersebut
melalui Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan
paham Al Quran dan Al Hadist.
III.
ISTISHLAH (
MASHLAHAH)
1.
Pengertian
Al Mashlahah Al Mursalah
Lafadz “Al Mashlahah” bahasa
Arab dari kata dasar solaah. Lafadz “Solaah” lawan kata dari “fasaad”
Dari kata “Solaah” terbentuk
kata maslahat yang berarti “manfaat” dan dari kata Fasaad terbentuk kata
“mafsadat” yang artinya adalah rusak.
“Manfaat” yang dituntut syara’
adalah perlindungan terhadap agama, keselamatan jiwa, akal, harta, dan
keturunan.[5]
Sedangkan lafadz “mursalah” atrinya terlepas.
Maksudnya hal-hal yang belum tersentuh atau belum terikat oleh syara’ secara
lafadz, yakni belum ada dalil syar’I yang membatalkannya dan belum juga ada
secara lafasz yang mengakui kebenarannya.[6]
oleh sebab itu, para ulama ahli ushul fiqih
memberikan pengertian bahwa Mashlahah Al Mursalah adalah menetapkan hokum bagi
suatu kejadian yang belum ada nashnya dengan memperhatikan kepentingan
mashlahat, yakni memelihara agama, jiwa, akal, harta dan keturunan.[7]
2. Syarat-syarat Mashlahah Mursalah
Para Ulama memakai Mashlahah dalam kajian hokum
untuk persoalan-persoalan yang mursal, menetapkan tiga persyaratan pokok
sehingga hasil kajiannya bias diterima yaitu :
1) Ketentuan hukumnya ditetapkan lewat penelaahan dan
penelitian yang mendalam, sehingga segi-segi kemaslahatannya itu dapat
diperlihatkan secara nyata tidak berupa dugaan-dugaan semata.
2) Tinjauan kemaslahatan itu tidak boleh parsial, tapi
harus lebih general dan menyeluruh, yakni tidak hanya memperlihatkan
kemaslahatan satu atau dua orang saja, atau kelompok tertentu saja tapi harus
menyeluruh bagi masyarakat muslim, paling tidak sebagian besarnya.
3) Ketentuan-ketentuan hukum produk kajian mashlahah
itu tidak boleh bertentangan dengan Nash, baik Al Qur’an maupun As Sunnah, dan
tidak boleh bertentangan dengan ijma.[8]
3.
Macam-macam Mashlahah dan Contoh-contohnya
Adapun kemaslahatan ditinjau
dari peringkat “kepentingan”nya terbagi menjadi tiga :
Pertama : Ad-Droruriat. Yaitu
kemaslahatan yang keberadaanya berkaitan dengan penegakan kemaslahatan agama
dan penjagaan terhadap maksud-maksud syara’. Bila pengkondisianya diabadikan,
maka kehidupan menjadi susah. Seperti wajibnya makan atau minum bagi seseorang
uang sedang berpuasa, dalam kondisi kalau tidak makan akan menyebabkan
kematian.[9]
Contoh lain seperti ancaman
yang dihadapi oleh Ammar bin Yasir saat dipaksa harus mengucapkan kata-kata “Latta
dan Uzzu adalah tuhan”. Amar mengucapkanya demi keselamatan jiwanya yang
diancam dibunuh bila tidak mengucapkanya.
Kedua : Al Haajiat. Yaitu
suatu kemashlahatan, perbuatan, dan upaya-upaya yang tidak terkait dengan
kelangsungan hidup. Kalau diabaikan tidak menjadikan hidup rusak, akan tetapi
hidup akan menjadi sempit dan sulit seperti seseorang yang sudah beristri
belasan tahun tidak kunjung memperoleh keturunan, disarankan kepadanya oleh
seorang dokter agar “menambah” istri. Bila orang itu tidak melaksanakan saran
dokter, hidupnya tidaklah susah, akan tetapi terasa sempit hidup ini baginya
dan berbahaya bagi kelanjutan keturunannya.[10]
Ketiga, At Tahsinaat, yaitu
suatu kemaslahatan, dan segala bentuk tingkat yang tidak berkaitan dengan
kelangsungan hidup seseorang atau kelompok. Seperti larangan menjual air dan
rumput. Mejual barang-barang najis dari kotoran-kotoran binatan, larangan
mengkonsumsi makanan atau membudidayakan / memproduksi bahan-bahan yang
tergolong khobitsat dan sebagainya.[11]
Sedangkan pembagian Mashlahah
dari sudut pandang syara’ terbagi menjadi tiga :[12]
Pertama: Mashlahah Mu’tabaroh.
Yaitu Mashlahah yang dipandang “ada” oleh syara’ dan dikuatkan serta
ditegakan suatu dalil untuk melindungi Mashlahah tersebut. Mashlahah yang demikian
itu tidak diragukan keabsahannya. Karena segala bentuk ketentuan hukum syara’
yang terkait dengan suatu kenyataan, halmana mujtahid menguatkan akan ketentuan
tersebut dengan adanya illat, pastilah diyakini pada hukum syara’ itu adanya Mashlahah.
Dengan lain perkataan bahwa Allah SAW., tidaklah menentukan hukum syara’
kecuali untuk mendatangkan Mashlahah bagi hamba-hambanya dan mencegah
kemudhorotan.
Lagipula kalau kita dapatkan
sesuatu kenyataan yang baru dengan illat yang sama, maka kita kaitkan hukum
pada kenyataannya baru itu dengan
kenyataan yang pertama karena Mashlahah itu adalah satu kesatuan.
Sebagai contoh berkait dengan hal ini, hakim dilarang
menentkan hukum dalam kondisi sedang marah. Illatnya adalah karena hatinya
sibuk di luar jalur nalar, dan tidak bisa menangkap dengan sempurna
uraian-uraian yang dikemukakan kedua belah pihak yang bertikai, serta perubahan
tabi’atnya yang tenang, teliti, dan bersungguh-sungguh berubah menjadi
sebaliknya. Maka diqiyas yang demikian itu, bahwa segala sesuatu yang
mengganggu nalar sehingga tidak fokus dalam pengkajian dalil dan penentuan
hukum; juga segala sesuatu yang mengubah tabi’at hakim, seperti keadaan lapar,
dendam, atau adanya ancaman yang menimbulkan rasa takut haruslah dicegah. Upaya
pencegahan ini tentu untuk menjaga Mashlahah bagi kedua belah pihak yang
bertikai. Mashlahah demikian itu disebut Mashlahah muta’barah.
Kedua, Mashlahah Mulgho.
Yaitu Mashlahah yang “ada” nya oleh syara’ dianggap tidak ada bahkan cenderung
di tolak.
Seperti kejadian bahwa Raja Abdurrahman bin Hakam
telah melakukan jima’ dengan istri simpanannya pada waktu siang di bulan
Ramadhan, hal itu dilakukan berulang kali. Dan sejumlah pengulangan itu
dia membebaskan hamba sahaya sebagai kaffarah. Akan tetapi ada seorang faqih,
Yahya Bin Yahya Al Laitsi al-Maliki, memberikan fatwa berkait dengan kejadian
tersebut, bahwa Raja Abdurrahman wajib melakukan puasa 60 hari sebagai
kaffarah. Dia memberikan illat bahwasanya kaffarah diberlakukan tujuannya agar
pelaku jera. Kalau kita wajibkan kepada raja ini kaffarah memerdekakan budak
maka terbuka peluang baginya untuk melakukan jima’ disiang hari pada bulan
ramadhan berulang kali sebagaimana sudah
ia lakukan. Karena itu kita wajibkan
atas berpuasa agar dia jera. Sang
faqih mengira pada
ketentuan demikian itu ada Mashlahah. Memang ada, akan tetapi Mashlahah
ini bertolak karena berlawanan dengan nash syara’
Ketiga, al-Mashlahah al-Mursalah,
yakni kajian hukum terhadap persoalan-persoalan yang belum dinyatakan secara
eksplisit dalam nash, dan tidak dapat dilihat titik-titik kesamaanya dengan
yang manshus tersebut lewat pendekatan qiyas.
Contoh: Hukuman apa yang layak
diberlakukan kepada laku-perempuan bukan muhrim yang melakukan khalwat
berkali-kali sampai melampaui batas-batas “kewajaran”?; bagaimana pula seorang
suami yang sakit menjelang wafat menceraikan istri mudanya, adakah si istri
mendapat waris dari almarhum suaminya, sedang ia hidup sebatang kara ?
4.
Menjadikan Al Maslahat Al
Mursalat Sebagai Dalil Hukum.
Sudah disepakati dikalangan
para ahli Ushul Fiqhi bahwa kaidah maslahat yang mendapat kesaksian dan
dibenarkan syara’ adalah sah untuk dijadikan dalil hukum. Sedangkan kaidah
mashlahat yang dipandang sara’ bersebrengan dengan maqoshidul syar’i jelas
bukanlah pedoman yang bisa dijadikan dalil hukum.
Prinsif bahwa ditetapkannya
ketentuan hukum tujuan utamanya adalah kemaslahatan umat. Maka bila ada ketentuan hukum yang
aplikasinya tidak sinergi dengan suatu kemaslahatan, ketentuan tersebut akan
menimbulkan kemudhorotan, hal yang demikian itu bertentangan dengan Hadits Nabi
SAW.
لا ضرر و لا ضرار
“Jangan Ada bahaya dan jangan
ada yang membahayakan”
Seperti semangat larangan agar
tertutup berbagai macam bahaya, maka kaidah Al Maslahat Al Mursalat merupakan
kesimpulan induktif dari ayat – ayat yang menyuruh untuk berjihad dan
berperang, ketentuan hukum qishas, serta ketentuan menghukum para pemberontak
politik. Kemudian atas dasar kaidah ini
Malik berfatwa bahwa seorang kepala Negara boleh memungut pajak kepada
rakyatnya disamping pungutan zakat. Kalau kas Negara perlu dana tambahan untuk
membiayai kepentingan-kepentingan kenegaraan secara umum, dan kalau tidak Negara
akan mengalami kesukaran.
Kemudian untuk memperkuat
legalitas pemakaian metode ini, pada ulama malikiyah mengemukakan beberapa
Argumentasi yaitu :
1.
Bahwa syari’ah itu diturunkan
agar para mukalaf tidak melakukan sesuatu atas tuntutan hawa nafsu, karena kalau
hawa nafsu menjadi dasar penetapan dasar hukum, akan menimbulkan kemudhorotan,
sebagaimana dinyatakan dalam surat Al Mu’minun ayat 71 :
Èqs9ur yìt7©?$# ,ysø9$# öNèduä!#uq÷dr& ÏNy|¡xÿs9 ÝVºuq»yJ¡¡9$# ÞÚöF{$#ur `tBur ÆÎgÏù 4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar