A.
PENDAHULUAN
Maskawin
adalah pemberian wajib dari seorang calon suami kepada calon isterinya karena
akad nikah baik itu berupa uang atau barang (harta benda) atau jasa[1],
sebagaimana pemberian nafakah suami kepada isterinya. Persoalan yang sering
muncul pada pemberian maskawin dari calon suami kepada calon isterinya adalah
batas minimal dan batas maksimal maskawin itu diberikan . sehingga ada ungkapan
wanita yang baik adalah yang mudah maskawinnya.[2]
Sedangkan Pria yang baik adalah Calon suami yang memberikan maskawin semaksimal
mungkin atau setinggi-tingginya.
Kebiasaan
yang terjadi di Masyarakat tentang
pemberian maskawin berupa seperangkat alat Sholat, bahwa maskawin itu
adalah harus dari barang perhiasan berupa emas sesuai dengan sebutan
“maskawin”, sering menjadi kontroversi. Sepertinya setiap daerah memiliki
kekhasan sendiri dalam memberikan maskawin seperti di Mesir dengan memberikan
rumah flat dan isinya.
Untuk memberikan
solusi sekaligus kompromi atas
kontroversi tentang maskawin makalah ini
akan mengupas persoalan maskawin dari sisi/ Perspektif Syari’i dengan sistematika terdiri dari
Pendahuluan,Makna maskawin, Prinsip-prinsip pemberian maskawin menurut al-Quran
dan al-Hadits dan kesimpulan.
B.
Pengertian Maskawin
Mahar atau Mas
kawin adalah harta yang diberikan oleh pihak mempelai laki-laki (atau
keluarganya) kepada mempelai perempuan (atau keluarga dari mempelai perempuan)
pada saat . Di Indonesia sebutan mahar
hanya terbatas pada pernikahan an sich. Secara bahasa mahar
diartikan nama terhadap pemberian tersebab kuatnya akad , secara
istilah syari`at mahar adalah sebutan bagi harta yang wajib atas orang
laki-laki bagi orang perempuan sebab nikah atau bersetubuh (wathi).[3]
1.
Sebutan Lain Maskawin atau mahar
Banyak term tentang
maskawin yang ditemui dalam literal Al Qur`an, hadits dan ungkapan orang arab
untuk mengistilahkan mahar adalah sebagai berikut ; [4]
1. Shadaq صداق
2. Mahar مهر
3. Nihlah نحلة
4. Faridhahفريضة
5. Ajrأجر
6. `Uqr عقر
7. `Alaiq علائق
8. Khurs خرس
9. Thaul طول
10. Athiyah عطية
11. Nikah نكاح
12. Hibâ حباء
1. Shadaq صداق
2. Mahar مهر
3. Nihlah نحلة
4. Faridhahفريضة
5. Ajrأجر
6. `Uqr عقر
7. `Alaiq علائق
8. Khurs خرس
9. Thaul طول
10. Athiyah عطية
11. Nikah نكاح
12. Hibâ حباء
Di dalam al-
Quran maskawin disebut dengan shadaq, nihlah, faridhah . Thaul
dan ajr.[5] Dan di
dalam as-Sunah disebutkan dengan mahar, ‘aliqah, dan ‘aqar.. Shadaq
(maskawin) berasal dari kata Shadq artinya sangat keras karena
bayarannya sangat mengikat sebab maskawin tidak dapat gugur dengan
rela-merelakan (taradhi).
2.
Nama-nama Mahar yang di sebutkan dalam Al Qur`an.
1. Al Qur`an Surat Al Baqarah ayat 236:
لاَّ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِن طَلَّقْتُمُ النِّسَاء مَا لَمْ تَمَسُّوهُنُّ أَوْ تَفْرِضُواْ لَهُنَّ فَرِيضَةً
"Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya…"
2. Al Qur`an Surat An Nisa ayat 4:
وَآتُواْ النَّسَاء صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً
"Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan…" Nihlah artinya pemberian ,Disebut nihlah karena seorang perempuan bersenang-senang dengan suami seperti halnya suami juga. Bahkan perempuan lebih banyak mendapat kesenangan seakan-akan ia mengambil maskawin tanpa imbalan apapun.
3. Al Qur`an Surat An Nisa` ayat 25:
وَمَن لَّمْ يَسْتَطِعْ مِنكُمْ طَوْلاً أَن يَنكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِن مِّا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُم مِّن فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ
"Dan barang siapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki."
4. Al Qur`an Surat An Nisa` ayat 25:
فَانكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ وَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
"… Karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, .."
5. Al Qur`an Surat An Nur ayat 33:
وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّى يُغْنِيَهُمْ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ
"Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri) nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya…"
Nikah disini menurut sebahagian ulama berarti mahar musamma (nahar yang disebutkan saat akad nikah) .
3.
Hukum-Hukum Maskawin
atau Mahar
Dalil diwajibkannya mahar dalam Al Qur`an
1. Al Qur`an Surat An Nisa ayat 4:
وَآتُواْ
النَّسَاء صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً
"Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan…"
Yang menjadi mukhatab
(objek) dalam perintah ini adalah suami. Karena suami yang diwajibkan untuk
membayar mahar. Pendapat lain mengatakan bahwa yang menjadi mukhatab (objek)
adalah para wali perempuan. Karena
para wali biasanya mengambil mahar tersebut tanpa menyerahkan ke pada anak
perempuannya. Dan mereka menamakannya dengan nihlah. Karena mereka dapat
menikmati mahar yang telah diberikan. Namun yang menjadi pijakan kita adalah
kewajiban untuk memberikan mahar berdasarkan perintah Allah di dalam ayat ini.
2. Al Qur`an
Surat An Nisa` ayat 25:
فَانكِحُوهُنَّ
بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ وَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
"… Karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka dan
berilah maskawin mereka menurut yang patut, .."
Sunnah
Sabda Rasul Saw
kepada seorang sahabat yang berkeinginan untuk menikah
"Usahakanlah olehmu meskipun cincin yang terbuat dari besi" (HR.
Bukhari)
Ijma`
Telah sepakat umat sejak zaman Rasul Saw. sampai hari ini untuk wajib
membayarkan mahar kepada istri. Karena itu Mahar adalah satu diantara hak istri
yang didasarkan pada kitabulloh , Sunnah
dan Ijma.[6]
Tujuan mahar
1. Sebagai hadiah yang berbentuk finansial wujud tanda cinta. Mahar Untuk
mendekatkan hati kedua belah pihak. Pemberian ini adalah bentuk kebajikan dan
menunjukkan keikhlasan pemberinya untuk melakukan akad nikah. Dalam kehidupan
rumahtangga, secara asal tugas masing-masing suami dan istri sudah jelas. Suami
berfungsi sebagai petarung di luar rumah untuk mencari nafkah dan istri berada
dirumah untuk mengelola rumah tangga dan mendidik anak. Oleh karena itu semua
tanggungjawab yang berhubungan dengan finansial dibebankan kepada suami. Maka
wajar pemberian bersumber dari suami.
2. Bekerjasama dalam mempersiapkan sebuah suasana indah yang harmonis saat
memulai kehidupan rumahtangga.
Sudah menjadi lazim bahwa sang istri berpindah dari rumah orangtuanya ke rumah
baru yang disediakan oleh suami untuk menjalankan kehidupan rumahtangga. Sang
istri tentu saja butuh pakaian, perhiasan dan wangi-wangian yang layak baginya.
Oleh karena itu sudah semestinya bila suami membantu si istri dalam memenuhi
kebutuhan tersebut.
3. Bekerjasama dalam memenuhi perkakas ruamhtangga.
Pada sebagian adat masyarakat bahwa perempuan mempunyai kewajiban untuk
menyediakan perkakas rumahtangga yang dibutuhkan. Oleh karena itu adalah suatu
kewajiban bagi suami untuk membantu si istri untuk memenuhi kebutuhan tersebut
secara bersama-sama.
4. Agar suami menghormati ikatan pernikahan dan berpikir matang untuk
melakukan thalaq.
Semakin sulit mendapatkan
istri, maka posisi si istri akan semakin mulia dan berharga dalam pandangan
suami. Dalam sebuah ikatan pernikahan yang mempertemukan dua insan yang berbeda
dan tidak saling kenal sebelumnya bisa saja akan terjadi percekcokan. Sudah
lazim terjadinya masa adaptasi yang membutuhkan kesabaran. Perangai kedua belah
pihak sangat berpotensi untuk mengancam keutuhan akad pernikahan. Jika suami
memberikan mahar dalam jumlah yang besar, maka dia akan berpikir panjang untuk
melakukan tindakan gegabah dengan memutuskan thalaq..
Hak siapakah mahar itu?
Mahar wajib diberikan
oleh suami kepada istri. Mahar merupakan hak istri. Istri berhak menentukan
maharnya dan boleh juga menyerahkan ketentuan maharnya kepada, wali, suami dan
hakim. Mahar yang ada ditangannya merupakan jaminan untuk menghadapi perubahan
perekonomian, musibah, dan berbagai kebutuhan lainnya. Inilah hikmah ilahiyyah
yang perlu menjadi petimbangan dalam memberikan mahar.
Namun perlu dicatat bahwa tidak boleh kedua belah pihak untuk sepakat menggugurkan adanya mahar. Karena
mahar adalah hak istri, maka setelah memiliki hak terhadap mahar tersebut, sang
istri boleh saja menggugurkan dan membebaskan kewajiban suami untuk membayar
mahar yang masih sebagai hutang. Istri juga berhak untuk menghibahkan mahar
kepada suaminya atau kepada orang lain dengan mengikuti ketentuan hibah secara
syar`i.
Status mahar
Mahar adalah sebagai syarat sah nikah menurut ulama Syafi`iyah sedangkan
menurut ulama Hanafiyah adalah atsar (kewajiban) yang timbul karena karena
terjadinya akad nikah. Dan ulama sepakat bahwa mahar bukanlah sebagai rukun
nikah. Menyebutkan mahar dalam akad nikah adalah perkara yang sunnah. Hal ini
karena Nabi Saw selalu menyebutkan mahar dalam sebuah akad nikah. Menyebutkan
mahar dalam akad nikah juga menghindari perselisihan yang terjadi di belakang
hari karena penentuan mahar. Hal ini juga untuk menghindari agar tidak menyamai
pernikahan Rasul Saw terhadap seorang istri beliau yang menghibahkan dirinya
kepada Rasul Saw seperti yang dipaparkan dalam Al Qur`an surat Al Ahzab ayat
50. Oleh karena itu sah nikah tanpa menyebutkan mahar dalam akad nikah menurut
ijma` ulama. Dalilnya:
Al Qur`an Surat Al Baqarah ayat 236:
لاَّ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِن
طَلَّقْتُمُ النِّسَاء مَا لَمْ تَمَسُّوهُنُّ أَوْ تَفْرِضُواْ لَهُنَّ فَرِيضَةً
"Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan
istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan
maharnya…"
Dari ayat ini jelas bahwa tidak berdosa untuk melakukan thalaq terhadap istri sebelum menggaulinya setelajh
terjadi akad nikah yang tidak disebutkan maharnya.
Ketika mahar belum disebutkan dan nikah batal bukan tersebab istri maka sang
istri berhak mendapat mahar mitsil.
Esensi mahar
Mahar disyariatkan sebagai hadiah yang wajib dan pemberian yang telah
ditentukan oleh Allah kepada para suami. Mahar berfungsi mendekatkan hati kedua pasangan agar terbina cinta dan
kasih dalam mahligai rumahtangga. Mahar bukanlah sebagai bea ganti rugi dalam
akad nikah atas kepemilikan kemaluan si istri, seperti upah dalam akad ijarah
(sewa-menyewa) atau pembayaran dalam sebuah akad bai` (jual beli). Meskipun
secara zhahir mahar yang dibayarkan adalah sebagai pembayaran dari pemberian
manfaat atas kemaluan sang istri.
Namun perlu digaris bawahi bahwa yang menikmati manfaatnya bukanlah hanya kaum
suami semata, tapi kedua belah pihak. Dalam beberapa statement ulama disebutkan
bahwa perempuan lebih menikmati dibanding laki-laki. Dan perlu ditekankan juga
Maksud yang diinginkan dari nikah itu jauh lebih mulia, yaitu untuk mewujudkan
kebenaran dan keadilan dalam semua aspek hidup. Sehingganya pernikahan
mendatangkan kemaslahatan yang bersifat sosial. Memiliki banyak faedah yang
akan kembali kepada sebuah masyarakat dambaan. Karena keluarga merupakan sebuah
lembaga terkecil dari sebuah masyarakat. Ketika keluarga baik, maka sudah
menjadi asset dan berkontribusi nyata dalam melakukan perbaikan struktur sebuah
masyarakat terbesar bernama Negara.
Oleh karena itu Kamal bin Humam, salah seorang ulama Hanafiyah menjelaskan
bahwa mahar disyariatkan untuk menunjukkan kemuliaan akad nikah.
Apa yang boleh dijadikan sebagai mahar?
Dalam kebiasaan masyarakat Indonesia mahar barangkali sudah menjadi
kebiasaan dengan mempersembahkan seperangkat alat shalat dan mushaf Al Qur`an
kepada sang istri. Di Mesir dan sebagian Arab pada umumnya mahar dengan
menyediakan flat dan seisinya. Hal ini tentu saja berbeda dari suatu Negara terhadap
Negara yang lain. Status ekonomi penduduk suatu Negara juga akan sangat
menentukan jumlah mahar yanag akan mereka bayarkan. Sehingganya tidak
bisa dipatok harus sama mahar seorang istri yang dibebankan kepada suami.
Bila kita memakai
syariat sebagai pedoman mahar maka akan kita temui bahwa "Segala sesuatu
yang boleh diperjualbelikan, maka boleh menjadi mahar. Apapun bentuknya yang
boleh dijadikan alat transaksai dalam jual beli maka boleh menjadi mahar dalam
akad nikah. Di dalam bab jual beli dijelaskan bahwa kategorinya adalah;[7]
1. Zatnya suci
Dengan syarat ini maka tidak boleh menjadikan barang yang masuk dalam
kategori najis sebagai mahar. Minuman keras (khamar) tidak boleh menjadi mahar.
Pupuk kandang juga tidak boleh dijadikan mahar, karena berasal dari kotoran
hewan yang masuk dalam kategori najis mutawasithah.
2. Bermanfaat
Tidak boleh menjadikan sesuatu yang tidak bermanfaat secara syar`i sebagai
mahar. Mungkin tidak dipandang manfaat karena kadarnya yang sangat sedikit
seperti menjadikan 2 biji padi sebagai mahar. Atau juga karena zatnya tercela
secara syariat, seperti menjadikan ular, kalajengkeing, kecoa sebagai mahar,
dsb.
3. Bisa diserahkan
Tidak boleh menjadikan burung yang sedang terbang dan ikan yang masih dalam
kolam sebagai mahar. Begitu juga seluruh bentuk harta kita yang tidak ada
kekuasaan kita untuk menyerahkannya. Meskipun kita adalah pemilik harta yang
sah. Seperti harta kita yang di gashab (diambil tanpa izin yang empunya) oleh
orang lain.
4. Kepemilikan sempurna
Tidak boleh menjadikan barang yang masih menjadi hak orang lain sebagai mahar.
Begitu juag menjadikan barang yang tidak ada hak kewalian kita untuk
menggunakannya.
Dengan ketentuan diatas, maka boleh saja memberikan cincin emas, mobil, rumah,
toko, seperangkat perhiasan dari mutiara, tabungan, deposito, gaji bulanan,
tanah, asset perusahaan, buku, seperangkat alat shalat, Al Qur`an, dan
sebagainya sebagai mahar. Selama masih memenuhi kriteria diatas, maka mahar
dalam jumlah banyak ataupun sedikit, mahar dalam bentuk produktif ataupun
konsumtif adalah boleh dan sah.
Para ulama dahulu berbeda pendapat dalam menentukan kadar
minimal mas kawin:[8]
1. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa mas kawin minimal senilai 3 dirham. Mereka mengkiaskan (menyamakan) hal ini dengan wajibnya potong tangan bagi pencuri ketika barang curiannya bernilai 3 dirham atau lebih.
2. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa mas kawin paling sedikit 10 dirham atau dengan yang senilainya. Ini berlandaskan bahwa Nabi membayar mas kawin para isterinya tidak pernah kurang dari 10 dirham.
3.Ulama Syafi'iah dan Hanbaliyah berpendapat, tidak ada batas minimal, yang penting bahwa sesuatu itu bernilai atau berharga maka sah (layak) untuk dijadikan mas kawin (termasuk seperangkat alat salat). Golongan ketiga ini mendasarkan pendapatnya pada (a) ayat "Dan dihalalkan bagimu selain yang demikian (wanita yang telah disebutkan dalam ayat 23-24 surat al-Nisa'), yaitu mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk dizinai" (Q.S. al-Nisa' : 24). Kalimat "amwaal" (Indonesia = harta) dalam ayat ini lafadznya umum tanpa dibatasi dengan jumlah tertentu, dan tidak ada dalil lain dari hadits atau ijma' para sahabat yang mengkhususkan kalimat ini, maka keumumannya wajib diamalkan. (b) Hadits Rasulullah yang berbunyi : "iltamis walau khaataman min hadid" ("Berikanlah [mas kawin] walaupun hanya sebuah cincin yang terbuat dari besi). Selengkapnya hadits ini adalah sebuah kisah: Suatu saat Nabi didatangi seorang perempuan yang menginginkan agar Nabi berkenan menikahinya. "Saya pasrahkan diri saya pada tuan", kata si perempuan. Namun lantas Nabi berfikir agak panjang.
Pada saat itulah berdiri seorang sahabat dan memberanikan diri menyatakan kepada Nabi,
"Wahai Rasulullah, jika paduka tidak berkenan menikahinya, nikahkan saja perempuan itu denganku".
"Apakah kamu memiliki sesuatu untuk dijadikan maharnya?"
"Saya tidak mempunya apa-apa kecuali kain sarung saya ini".
"Sarungmu?!. Lantas kamu nanti mau pakai apa jika sarung itu kamu jadikan mahar? Carilah sesuatu".
"Sama sekali saya tak punya apa-apa".
"Carilah, walau hanya cincin besi".
Lelaki tadi lantas mencari-cari, namun memang dia tak punya apa-apa. Lalu kata Nabi:
"Apakah kamu hafal beberapa (surat) dari al-Qur'an?".
"Oh ya, surat ini dan surat ini", dia mengatakan surat-surat yang dihafalnya. Maka lantas Nabi menikahkan mereka, "Saya nikahkan kamu dengan perempuan itu dengan mahar apa yang kamu hafal dari al-Qur'an".
1. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa mas kawin minimal senilai 3 dirham. Mereka mengkiaskan (menyamakan) hal ini dengan wajibnya potong tangan bagi pencuri ketika barang curiannya bernilai 3 dirham atau lebih.
2. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa mas kawin paling sedikit 10 dirham atau dengan yang senilainya. Ini berlandaskan bahwa Nabi membayar mas kawin para isterinya tidak pernah kurang dari 10 dirham.
3.Ulama Syafi'iah dan Hanbaliyah berpendapat, tidak ada batas minimal, yang penting bahwa sesuatu itu bernilai atau berharga maka sah (layak) untuk dijadikan mas kawin (termasuk seperangkat alat salat). Golongan ketiga ini mendasarkan pendapatnya pada (a) ayat "Dan dihalalkan bagimu selain yang demikian (wanita yang telah disebutkan dalam ayat 23-24 surat al-Nisa'), yaitu mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk dizinai" (Q.S. al-Nisa' : 24). Kalimat "amwaal" (Indonesia = harta) dalam ayat ini lafadznya umum tanpa dibatasi dengan jumlah tertentu, dan tidak ada dalil lain dari hadits atau ijma' para sahabat yang mengkhususkan kalimat ini, maka keumumannya wajib diamalkan. (b) Hadits Rasulullah yang berbunyi : "iltamis walau khaataman min hadid" ("Berikanlah [mas kawin] walaupun hanya sebuah cincin yang terbuat dari besi). Selengkapnya hadits ini adalah sebuah kisah: Suatu saat Nabi didatangi seorang perempuan yang menginginkan agar Nabi berkenan menikahinya. "Saya pasrahkan diri saya pada tuan", kata si perempuan. Namun lantas Nabi berfikir agak panjang.
Pada saat itulah berdiri seorang sahabat dan memberanikan diri menyatakan kepada Nabi,
"Wahai Rasulullah, jika paduka tidak berkenan menikahinya, nikahkan saja perempuan itu denganku".
"Apakah kamu memiliki sesuatu untuk dijadikan maharnya?"
"Saya tidak mempunya apa-apa kecuali kain sarung saya ini".
"Sarungmu?!. Lantas kamu nanti mau pakai apa jika sarung itu kamu jadikan mahar? Carilah sesuatu".
"Sama sekali saya tak punya apa-apa".
"Carilah, walau hanya cincin besi".
Lelaki tadi lantas mencari-cari, namun memang dia tak punya apa-apa. Lalu kata Nabi:
"Apakah kamu hafal beberapa (surat) dari al-Qur'an?".
"Oh ya, surat ini dan surat ini", dia mengatakan surat-surat yang dihafalnya. Maka lantas Nabi menikahkan mereka, "Saya nikahkan kamu dengan perempuan itu dengan mahar apa yang kamu hafal dari al-Qur'an".
C.
KESIMPULAN
Maskawin (mahar)
adalah pemberian seorang suami kepada isteri disebabkan terjadinya
pernikahan antara keduanya, baik itu berupa barang (harta benda) atau uang atau
jasa. Pemberian maskawin hukumnya wajib bagi laki-laki tetapi tidak termasuk
dalam rukun nikah, sehingga tidak disebutkan sewaktu akad nikah, maka
perkawinan tetap sah.
Maskawin
tidak ada batas banyak dan sedikitnya. Pihak perempuan dan laki-laki boleh
menentukannya. Pemberian maskawin tidak terlampau mahal . Suami wajib membayar
maskawin sebanyak yang telah ditetapkan waktu ijab qobul. Kalau tidak dibayar
pada waktu itu boleh berhutang dan wajib dibayar sebagaimana berhutang pada
orang lain. Apabila tidak dibayar akan menjadi soal dan pertanggungan jawab di
akherat nanti. Jika terjadi perceraian dengan talak sebelum bergaul
suami-isteri dan maskawin belum dibayar , maka wajib membayar seperdua maskawin
yang telah ditentukan.
DAFTAR
PUSTAKA
Mughniyah , Muhamad Jawad, Fiqih Lima Mazhab,
Terj. Masykur A.B., Afif Muhamad, Idrus Al Kaff ,Jakarta,
Lentera, 2005.
Rasjid,Sulaiman , Fiqh Islam , Bandung ;
Penerbit Sinar Baru Algensiddo, 2010.
[1]
Nabi Saw. Menjadika kemerdekaan sebagai maskawin ketika mengawini Shofiyah
putri raja khaibar, sebagaimana hadits berikut :
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ ,
عَنِ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم ( أَنَّهُ أَعْتَقَ صَفِيَّةَ , وَجَعَلَ
عِتْقَهَا صَدَاقَهَا ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Anas
Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memerdekakan
Shafiyyah dan menjadikan kemerdekaannya sebagai maskawinnya. Muttafaq Alaihi.
Haditsnya ;
وَعَنْ عُقْبَةَ بنِ عَامِرٍ رَضي اللَّهُ عَنْهُ قالَ: قالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم: "خَيْرُ الصَّداقِ أَيْسَرُهُ"
أَخْرَجَهُ أَبُو دَاودَ وَصَحّحَهُ الحاكمُ .
[5] Kata , faridhah ada pada surat al-Baqarah/2;236 ; nihlah pada Surat an-Nisa/4;4
; Ajr pada Surat an-Nisa/4; 25 ; Thaul pada Surat an-Nisa/4; 25
[6] Muhamad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima
Mazhab, Terj. Masykur A.B., Afif Muhamad, Idrus Al Kaff ,(Jakarta, Lentera,
2005) Hlm. 364.
[7] H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam,
Bandung, Sinar Baru Algensido, 2010, Hlm.279-281.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar