Powered By Blogger

Senin, 12 Desember 2011

PENGGALIAN HUKUM ISLAM DENGAN PENDEKATAN ISTIHSAN DAN MASHLAHAH Oleh; Ibnul Mubarok,S.Ag


     I.        PENDAHULUAN

Dalam perjalanan sejarah Islam, para ulama mengembangkan berbagai teori, metode, pendekatan dan prinsip hukum yang sebelumnya tidak dirumuskan secara sistematis, baik dalam Alquran maupun as-Sunnah. Upaya para ulama tersebut berkaitan erat dengan tuntutan realita sosial yang semakin hari semakin kompleks. Berbagai persoalan baru bermunculan yang sebelumnya tidak dibahas secara spesifik dalam Alquran dan Hadits Nabi.
Di antara metode penetapan hukum yang dikembangkan para ulama adalah Istihsan dan Istishlah (mashlahah). Metode Istihsan dan Istishlah dalam term ilmu ushul fiqh disebut bagian dari istidlal yaitu sesuatu yang dijadikan dalil hukum yang sesuatu itu bukan qur’an, hadits, Ijma dan bukan Qiyas. Oleh karena itu Metode istihsan dan mashlahah diperselisihkan oleh para ulama mujtahid, ada yang menggunakan dan ada yang menolak digunakan sebagai istidlal (dalil Ijtihadi)
Berangkat dari permasalahan diatas , kami akan mencoba membahas lebih jauh diskursus metodologi hukum Islam Istihsan dan Mashlahah .

   II.        ISTIHSAN


A.   Pengertian Istihsan

Istihsan, (Arab) dapat disebut juga preference (pilihan), berikut beberapa pengertisn Istihsan : [1]
1.   Berarti menganggap baik atau mencari yang baik.
2.   Menetapkan suatu hukum terhadap sesuatu persoalah ijtihadiyah atas dasar prinsip-prinsip umum ajaran Islam (keadilan, kasih sayang).
3.   Fatwa yang dikeluarkan oleh seorang faqih (ahli fiqih), hanya karena dia merasa hal itu adalah benar.
4.   Argumentasi dalam pikiran seorang faqih tanpa bias diekpresikan secara lisan olehnya.
5.   Mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima, untuk maslahatorang banyak.
6.   Tindakan memutuskan suatu perkara untuk mencegah kemudharatan.
7.   Tindakan menganalogikan suatu perkara di masyarakat terhadap perkara yang ada sebelumnya.
Menurut ulama ushul fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara’, menuju (menetapkan) hukum lain dari peristiwa atau kejadian itu juga, karena ada suatu dalil syara’ yang mengharuskan untuk meninggalkannya. Dalil yang terakhir disebut sandaran istihsan [2]. Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa istihsan disebut sebagai Qiyas Khofi ( analogi samar-samar ) atau disebut sebagai pengalihan hukum yang diperoleh dengan Qiyas kepada hukum lain atas pertimbangan kemaslahatan umum. Apabila kita dihadapkan dengan keharusan memilih salah satu diantara dua persoalan yang sama-sama jelek maka kita harus mengambil yang lebih ringan kejelekannya.
Penjelasan lebih lanjut mengenai istihsan tentu akan terdapat perbedaan dengan qiyas. Pada qiyas terdapat dua peristiwa atau kejadian. Peristiwa atau kejadian pertama belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan dasarnya. Untuk menetapkan hukumnya dicari peristiwa atau kejadian yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash dan mempunyai persamaan ‘illat dengan peristiwa pertama.berdasarkan persamaan ‘illat itu ditetapkanlah hukum peristiwa pertama sama dengan hukum peristiwa kedua. Sedang pada istihsan hanya ada satu peristiwa atau kejadian. Mula-mula peristiwa atau kejadian itu telah ditetapkan hukumnya berdasar nash. Kemudian ditemukan nash yang lain yang mengharuskan untuk meninggalkan hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan itu, pindah kepada hukum lain, sekalipun dalil pertama dianggap kuat, tetapi kepentingan menghendaki perpindahan hukum itu.

Dengan perkataan lain bahwa pada qiyas yang dicari bagi seorang mujtahid ialah persamaan ‘illat dari dua peristiwa atau kejadian, sedang pada istihsan yang dicari ialah dalil mana yang paling dapat digunakan untuk menetapkan hukum dari satu peristiwa .


B.   Dasar  Hukum Istihsan.


Ulama terdahulu yang berpegang pada dalil istihsan ialah madzhab Hanafi, mennurutnya istihsan sebenarnya macam qiyas, yaitu memenangkan qiyas khafi atas qiyas jali atau mengubah hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau suatu kejadian yang ditetapkan berdasar ketentuan umum kepada ketentuan khusus karena ada satu kepentingan yang memperbolehkannya. Menurut mereka jika dibolehkan menetapkan hukum berdasarkan qiyas jali atau maslahat mursalah, tentulah melakukan istihsan karena kedua hal itu pada hakekatnya adalah sama, hanya namanya  saja yang berbeda. Disamping Madzhab Hanafi, golongan lain yang menggunakan istihsan ialah sebagian Madzhab Maliki dan sebagian Madzhab Hambali.
Yang menentang istihsan dan tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah ialah Madzhab Syafi’i. Istihsan menurut mereka adalah menetapkan hukum syara’ berdasarkan keinginan hawa nafsu. Imam Syafi’i berkata : “Siapa yang berhujjah dengan istihsan berarti ia telah menetapkan sendiri hukum syara’ berdasarkan keinginan hawa nafsunya, sedang yang berhak menetapkan hukum syara’ hanyalah Allah SWT.” Dalam buku Risalah Ushuliyah karena beliau, dinyatakan: “Perumpamaan orang yanhg melakukan istihsan adalah seperti orang yang melakukan shalat yang menghadap ke suatu arah yang menurut istihsan bahwa arah itu adalah arah Ka’bah, tanpa ada dalil yang diciptakan pembuat syara’ untuk menentukan arah Ka’bah itu.”[3]
Ada hal-hal yang perlu diperhatikan bahwa alasan-alasan yang dikemukakan oleh kedua pendapat itu serta pengertian istihsan menurut mereka masing-masing, akan jelas bahwa istihsan menurut pendapat Madzhab Hanafi berbeda dari istihsan menurut pendapat Madzhab Syafi’i. menurut pendapat Hanafi istihsan itu semacam qiyas dilakukan karena ada satu kepentingan, bukan berdasarkan hawa nafsu, sedangka menurut Madzhab Syafi’i, istihsan itu timbul karena rasa kurang enak, kemudian pindah kepada rasa yang lebih enak. Seandainya istihsan itu diperbincangkan dengan baik, kemudian ditetapkan pengertian yang disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu dapat dikurangi. Karena itu asy-Syathibi dalam kitabnya Al-Muwafaqat menyatakan : “orang yang menetapkan hukum berdasarkan istihsan tidak boleh berdasarkan rasa dan keinginannya semata, akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang diketahui bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah SWT menciptakan syara’ dan sesuai pula dengan kaidah-kaidah syara’ yang umum”.

C.   Macam-macam Istihsan


Dari uraian pengertian tersebut, istihsan menurut ulama ushul fiqh, terbagi atas dua macam, yaitu :[4]
1.  Pindah dari qiyas jali kepada qiyas khafi, karena ada dalil yang mengharuskan pemindahan itu.
2.  Pindah dari hukum kulli kepada hukum juz-i, karena ada dalil yang mengharuskannya. Istihsan macam ini oleh Madzhab Hanafi disebut istihsan darurat, karena penyimpangan itu dilakukan karena suatu kepentinagan atau karena darurat.

D.  Pandangan Ulama Terhadap Istihsan


Contoh Istihsan macam pertama :
1.   Menurut Madzhab Hanafi: bila seorang mewaqafkan sebidang tanah pertanian, maka termasuk yang diwaqafkannya itu hak pengairan, hak membuat saluran air di atas tanah itu dan sebagainya. Hal ini ditetapkan berdasar istihsan. Menurut qiyas jali hak-hak tersebut tidak mungkin diperoleh, karena mengqiyaskan waqaf itu dengan jual beli. Pada jual beli yang penting ialah pemindahan hak milik dari penjual kepada pembeli. Bila waqaf diqiyaskan kepada jual beli, berarti yang jual beli, berarti yang penting ialah hak milik itu. Sedang menurut istihsan hak tersebut diperoleh dengan mengqiyaskan waqaf itu kepada sewa-menyewa. Pada sewa-menyewa yang penting ialah pemindahan hak memperoleh manfaat dari dari pemilik barang kepada penyewa barang. Demikian pula halnya dengan waqaf. Yang penting pada waqaf ialah agar barang yang diwaqfkan itu dapat di manfaatkan. Sebidang sawah hanya dapat dimanfaatkan jika memperoleh pengairan yang baik. Jika waqaf itu diqiyaskan kepada jual beli (qiyas jali), maka tujuan waqaf tidak akan tercapai, karena pada jual beli yang diutamakan pemindahan hak milik. Karena itu perlu dicari asalnya yang lain, yaitu sewa-menyewa. Kedua peristiwa ini ada persamaan ‘illatnya yaitu mengutamakan manfaat barang atau harta, tetapi qiyasnya adalah qiyas khafi. Karena ada suatu kepentingan, yaitu tercapainya tujuan waqaf, maka dilakukanlah perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi, yang disebut istihsan.
2.   Menurut Madzhab Hanafi: sisa minuman burung buas, seperti sisa burung elang, burung gagak dan sebagainya adalah suci dan halal diminum. Hal ini ditetapkan dengan istihsan. Menurut qiyas jali sisa minuman binatang buas, seperti anjing dan burung-burung buas adalah haram diminum karena sisa minuman yang telah tercampur dengan air liur binatang itu diqiyaskan kepada dagingnya. Binatang buas itu langsung minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya masuk ketempat minumnya. Menurut qiyas khafi bahwa burung buas itu berbeda mulutnya dengan mulut binatang buas. Mulut biatang buas terdiri daging yang haram dimakan, sedang mulut burung buas merupakan paruh yang terdiri atas tulang tulang dan zat tandukdan tulang atau zat tanduk bukan merupakan najis. Karena itu sisa minum burung buas itu tidak bertemu dengan dagingnya yang haram dimakan, sebab diantara oleh paruhnya, demikianlah pula air liurnya. Dalam hal ini keadaan yang tertentu yang ada pada burung buas yang membedakannya dengan binatang buas. Berdasar keadaan inilah ditetapkan perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi, yang disebut istihsan.
Contoh istihsan macam kedua :
1.   Syara’ melarang seseorang (aqad) memperjualbelikan atau mengadakan perjanjian tentang sesuatu barang yang belum ada wujudnya, pada saat jual beli dilakukan. Hal ini berlaku untuk seluruh macam jual beli dan perjanjian yang disebut hukum kulli. Tetapi syara’ memberikan rukhsah (keringanan) kepada pembelian barang dengan kontan tetapi barangnya itu akan dikirim kemudian, sesuai dengan waktu yang telah dijanjikan, atau dengan pembelian secara pesanan (salam). Keringanan yang demikian diperlikan untuk memudahkan dalam lalu-lintas perdagangan dan perjanjian. Pemberian rukhsah kepada salam itu merupakan pengecualian (istisna) dari hukum kulli dengan menggunakan hu hukum juz-i, karena keadaan memerlukan dan telah merupakan adat kebiasaan dalam masyarakat.
2.   Menurut hukum kulli, seseorang pemboros yang memiliki harta berada di bawah perwalian seseorang, karena itu ia tidak dapat melakukan transaksi hartanya tanpa izin walinya. Dalam hal ini dikecualikan kalau transaksi tersebut berupa waqaf. Orang pemboros itu dapat melakukan atas namanya sendiri, karena melalui ikrar waqaf hartanya terpelihara dari kehancuran dan sesuai dengan tujuan diadaknnya perwalian, yaitu untuk memelihara hartanya (hukum juz-i)
Dari contoh di atas nampak bahwa karena adanya suatu kepentingan atau keadaan maka dilaksanakan hukum juz-i dan meninggalkan hukum kulli. Ditinjau dari segi sandaranya, maka istihsan terbagi kepada:
1.  Istihsan dengan sandaran qiyas khafi;
2.  Istihsan dengan sandaran nash;
3.  Istihsan dengan sandaran ‘urf; dan
4.  Istihsan dengan sandaran keadaan darurat.

E.   Tujuan Istihsan (dalamMetodologi Hukum Islam)


Bermacam pada contoh pendapat ulama di atas, maka istihsan sebagai salah satu metodologi ijtihad mempunyai tujuan dalam rangka utnuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah Swt. Selalu berhati-hati untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan tidak meninggalkan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang.
F.   Fungsi Istihsan  (dalamMetodologi Hukum Islam).
Meski Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua permasalahan dalam kehidupan manusia diatur secara detail oleh Al Quran maupun Al Hadist. Selain itu ada perbedaan yang mencolok dengan keadaan pada saat turunya Al Quran dengan kehidupan modern. Sehingga setiap saat masalah baru akan muncul terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan baru dalam melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan beragama sehari-hari. Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau di suatu masa waktu tertentu maka permasalahan tersebut dikaji apakah perkara yang dipermasalahka itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadist. Sekiranya sudah ada maka persialan tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada sebagaiman disebutkan dalam Al Quran atau Al Hadist tersebut. Namun jika persoalan tersebut merupakan perkara yang jelas atau tidak ada ketentutanya dalam Al Quran dan Al Hadist, pada saat itulah maka umat Islam memerlukan istihsan demi kepentingan pilihan suatu pernasalahan tersebut melalui Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al Quran dan Al Hadist.

 III.        ISTISHLAH ( MASHLAHAH)


1.   Pengertian Al Mashlahah Al Mursalah
Lafadz “Al Mashlahah” bahasa Arab dari kata dasar solaah. Lafadz “Solaah” lawan kata dari “fasaad”
Dari kata “Solaah” terbentuk kata maslahat yang berarti “manfaat” dan dari kata Fasaad terbentuk kata “mafsadat” yang artinya adalah rusak.
“Manfaat” yang dituntut syara’ adalah perlindungan terhadap agama, keselamatan jiwa, akal, harta, dan keturunan.[5]
Sedangkan lafadz “mursalah” atrinya terlepas. Maksudnya hal-hal yang belum tersentuh atau belum terikat oleh syara’ secara lafadz, yakni belum ada dalil syar’I yang membatalkannya dan belum juga ada secara lafasz yang mengakui kebenarannya.[6]

oleh sebab itu, para ulama ahli ushul fiqih memberikan pengertian bahwa Mashlahah Al Mursalah adalah menetapkan hokum bagi suatu kejadian yang belum ada nashnya dengan memperhatikan kepentingan mashlahat, yakni memelihara agama, jiwa, akal, harta dan keturunan.[7]

2.   Syarat-syarat Mashlahah Mursalah
Para Ulama memakai Mashlahah dalam kajian hokum untuk persoalan-persoalan yang mursal, menetapkan tiga persyaratan pokok sehingga hasil kajiannya bias diterima yaitu :
1)  Ketentuan hukumnya ditetapkan lewat penelaahan dan penelitian yang mendalam, sehingga segi-segi kemaslahatannya itu dapat diperlihatkan secara nyata tidak berupa dugaan-dugaan semata.
2)  Tinjauan kemaslahatan itu tidak boleh parsial, tapi harus lebih general dan menyeluruh, yakni tidak hanya memperlihatkan kemaslahatan satu atau dua orang saja, atau kelompok tertentu saja tapi harus menyeluruh bagi masyarakat muslim, paling tidak sebagian besarnya.
3)  Ketentuan-ketentuan hukum produk kajian mashlahah itu tidak boleh bertentangan dengan Nash, baik Al Qur’an maupun As Sunnah, dan tidak boleh bertentangan dengan ijma.[8]

3.   Macam-macam Mashlahah dan Contoh-contohnya
Adapun kemaslahatan ditinjau dari peringkat “kepentingan”nya terbagi menjadi tiga :
Pertama : Ad-Droruriat. Yaitu kemaslahatan yang keberadaanya berkaitan dengan penegakan kemaslahatan agama dan penjagaan terhadap maksud-maksud syara’. Bila pengkondisianya diabadikan, maka kehidupan menjadi susah. Seperti wajibnya makan atau minum bagi seseorang uang sedang berpuasa, dalam kondisi kalau tidak makan akan menyebabkan kematian.[9]
Contoh lain seperti ancaman yang dihadapi oleh Ammar bin Yasir saat dipaksa harus mengucapkan kata-kata “Latta dan Uzzu adalah tuhan”. Amar mengucapkanya demi keselamatan jiwanya yang diancam dibunuh bila tidak mengucapkanya.

Kedua : Al Haajiat. Yaitu suatu kemashlahatan, perbuatan, dan upaya-upaya yang tidak terkait dengan kelangsungan hidup. Kalau diabaikan tidak menjadikan hidup rusak, akan tetapi hidup akan menjadi sempit dan sulit seperti seseorang yang sudah beristri belasan tahun tidak kunjung memperoleh keturunan, disarankan kepadanya oleh seorang dokter agar “menambah” istri. Bila orang itu tidak melaksanakan saran dokter, hidupnya tidaklah susah, akan tetapi terasa sempit hidup ini baginya dan berbahaya bagi kelanjutan keturunannya.[10]

Ketiga, At Tahsinaat, yaitu suatu kemaslahatan, dan segala bentuk tingkat yang tidak berkaitan dengan kelangsungan hidup seseorang atau kelompok. Seperti larangan menjual air dan rumput. Mejual barang-barang najis dari kotoran-kotoran binatan, larangan mengkonsumsi makanan atau membudidayakan / memproduksi bahan-bahan yang tergolong khobitsat dan sebagainya.[11]
Sedangkan pembagian Mashlahah dari sudut pandang syara’ terbagi menjadi tiga :[12]

Pertama: Mashlahah Mu’tabaroh. Yaitu Mashlahah yang dipandang “ada” oleh syara’ dan dikuatkan serta ditegakan suatu dalil untuk melindungi Mashlahah tersebut. Mashlahah yang demikian itu tidak diragukan keabsahannya. Karena segala bentuk ketentuan hukum syara’ yang terkait dengan suatu kenyataan, halmana mujtahid menguatkan akan ketentuan tersebut dengan adanya illat, pastilah diyakini pada hukum syara’ itu adanya Mashlahah. Dengan lain perkataan bahwa Allah SAW., tidaklah menentukan hukum syara’ kecuali untuk mendatangkan Mashlahah bagi hamba-hambanya dan mencegah kemudhorotan.

Lagipula kalau kita dapatkan sesuatu kenyataan yang baru dengan illat yang sama, maka kita kaitkan hukum pada kenyataannya baru itu  dengan kenyataan yang pertama karena Mashlahah itu adalah satu kesatuan.

Sebagai contoh berkait dengan hal ini, hakim dilarang menentkan hukum dalam kondisi sedang marah. Illatnya adalah karena hatinya sibuk di luar jalur nalar, dan tidak bisa menangkap dengan sempurna uraian-uraian yang dikemukakan kedua belah pihak yang bertikai, serta perubahan tabi’atnya yang tenang, teliti, dan bersungguh-sungguh berubah menjadi sebaliknya. Maka diqiyas yang demikian itu, bahwa segala sesuatu yang mengganggu nalar sehingga tidak fokus dalam pengkajian dalil dan penentuan hukum; juga segala sesuatu yang mengubah tabi’at hakim, seperti keadaan lapar, dendam, atau adanya ancaman yang menimbulkan rasa takut haruslah dicegah. Upaya pencegahan ini tentu untuk menjaga Mashlahah bagi kedua belah pihak yang bertikai. Mashlahah demikian itu disebut Mashlahah muta’barah.

Kedua, Mashlahah Mulgho. Yaitu Mashlahah yang “ada” nya oleh syara’ dianggap tidak ada bahkan cenderung di tolak.

Seperti kejadian bahwa Raja Abdurrahman bin Hakam telah melakukan jima’ dengan istri simpanannya pada waktu siang di bulan Ramadhan, hal itu dilakukan berulang kali. Dan sejumlah pengulangan itu dia membebaskan hamba sahaya sebagai kaffarah. Akan tetapi ada seorang faqih, Yahya Bin Yahya Al Laitsi al-Maliki, memberikan fatwa berkait dengan kejadian tersebut, bahwa Raja Abdurrahman wajib melakukan puasa 60 hari sebagai kaffarah. Dia memberikan illat bahwasanya kaffarah diberlakukan tujuannya agar pelaku jera. Kalau kita wajibkan kepada raja ini kaffarah memerdekakan budak maka terbuka peluang baginya untuk melakukan jima’ disiang hari pada bulan ramadhan  berulang kali sebagaimana  sudah  ia  lakukan. Karena itu  kita wajibkan  atas  berpuasa agar dia jera.  Sang  faqih  mengira  pada  ketentuan demikian itu ada Mashlahah. Memang ada, akan tetapi Mashlahah ini bertolak karena berlawanan dengan nash syara’

Ketiga, al-Mashlahah al-Mursalah, yakni kajian hukum terhadap persoalan-persoalan yang belum dinyatakan secara eksplisit dalam nash, dan tidak dapat dilihat titik-titik kesamaanya dengan yang manshus tersebut lewat pendekatan qiyas.
Contoh: Hukuman apa yang layak diberlakukan kepada laku-perempuan bukan muhrim yang melakukan khalwat berkali-kali sampai melampaui batas-batas “kewajaran”?; bagaimana pula seorang suami yang sakit menjelang wafat menceraikan istri mudanya, adakah si istri mendapat waris dari almarhum suaminya, sedang ia hidup sebatang kara ?

4.   Menjadikan Al Maslahat Al Mursalat Sebagai Dalil Hukum.
Sudah disepakati dikalangan para ahli Ushul Fiqhi bahwa kaidah maslahat yang mendapat kesaksian dan dibenarkan syara’ adalah sah untuk dijadikan dalil hukum. Sedangkan kaidah mashlahat yang dipandang sara’ bersebrengan dengan maqoshidul syar’i jelas bukanlah pedoman yang bisa dijadikan dalil hukum.
Prinsif bahwa ditetapkannya ketentuan hukum tujuan utamanya adalah kemaslahatan  umat. Maka bila ada ketentuan hukum yang aplikasinya tidak sinergi dengan suatu kemaslahatan, ketentuan tersebut akan menimbulkan kemudhorotan, hal yang demikian itu bertentangan dengan Hadits Nabi SAW.
لا ضرر و لا ضرار
“Jangan Ada bahaya dan jangan ada yang membahayakan”
Seperti semangat larangan agar tertutup berbagai macam bahaya, maka kaidah Al Maslahat Al Mursalat merupakan kesimpulan induktif dari ayat – ayat yang menyuruh untuk berjihad dan berperang, ketentuan hukum qishas, serta ketentuan menghukum para pemberontak politik.  Kemudian atas dasar kaidah ini Malik berfatwa bahwa seorang kepala Negara boleh memungut pajak kepada rakyatnya disamping pungutan zakat. Kalau kas Negara perlu dana tambahan untuk membiayai kepentingan-kepentingan kenegaraan secara umum, dan kalau tidak Negara akan mengalami kesukaran.
Kemudian untuk memperkuat legalitas pemakaian metode ini, pada ulama malikiyah mengemukakan beberapa Argumentasi yaitu :
1.   Bahwa syari’ah itu diturunkan agar para mukalaf tidak melakukan sesuatu atas tuntutan hawa nafsu, karena kalau hawa nafsu menjadi dasar penetapan dasar hukum, akan menimbulkan kemudhorotan, sebagaimana dinyatakan dalam surat Al Mu’minun ayat 71 :
Èqs9ur yìt7©?$# ,ysø9$# öNèduä!#uq÷dr& ÏNy|¡xÿs9 ÝVºuq»yJ¡¡9$# ÞÚöF{$#ur `tBur  ÆÎgŠÏù 4